Senin, 07 Juni 2010

tuga fiqh, by putry dkk..........................

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam makalah ini, membahas tentang jual beli yang dilakukan di plaza. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa transaksi jual beli di plaza sudah sangat lazim kita lakukan tanpa adanya ijab qabul dalam proses jual beli tersebut. Di kota-kota banyak plaza-plaza yang mudah kita temukan sehingga kita sering belanja di plaza dibandingkan di pasar-pasar tradisional. Karena berbelanja di plaza lebih nyaman dan mudah untuk mencari keperluan kita dan kita tidak perlu berpanas-panasan.
Didalam plaza bukan hanya keperluan yang kecil saja tapi segala sesuatu yang kita butuhkan tanpa memakan waktu yang lama. Pada saat ini plaza menjadi pusat perbelanjaan yang digemari oleh masyarakat pada saat ini. Banyak masyarakat yang pada umumnya menjadikan plaza sebagai alternative berekreasi. Kita sebagai konsumen tidak perlu tawar menawar lagi, karena harganya sudah ditentukan dan tertera pada barang-barang yang akan kita beli.
Melihat situasi yang berkembang bahwa jual beli diplaza itu tidak dapat kita hindari lagi karena dalam system jual beli pada saat ini sudah dikuasai oleh sistem jual beli secara kapitalis termasuk jual beli dalam plaza. Jadi,system jual beli dalam plaza itu boleh dilakukan karena menimbang situasi pada saat ini dan melihat syarat-syarat dan macam – macam dari jual beli tresebut maka dibolehkannya jual beli diplaza.


BAB II
ISI
A. DEFENISI DAN SEJARAH SINGKAT JUAL BELI
a. Sejarah Singkat
At Tirmizi meriwayatkan dari Al Shakkar Al Ghamidi, bahwa Nabi saw., bersabda :


Artinya :
“ Allahumma, Ya Allah berkahilah Ummatku di pagi butanya ”

Dan dia ( Shakkar ) berkata : Jika Rasulullah mengirim syarriyah ( pasukan ekspedisi ) atau pasukan tentara, beliau mengutusnya di pagi-pagi sekali. Dan Shakkar yang menurut At Tirmidzi adalah seorang pedagang, jika mengirim dagangan, ia selalu melakukannya di pagi-pagi sekali. Ia lalu menjadi kaya dan banyak hartanya.

Mencari Rezeki Yang Halal
Dari Ali bin Abi Thalib, Karramallahu wajhahu, bahwa Nabi bersabda :



Artinya :
“ Sesungguhnya Allah suka kalau Dia melihat hamba_Nya berusaha mencari barang halal ”. ( Riwayat Ath Thabrani dan Ad Dailami )
Dan dari malik bin Anas r.a., bahwa Rasulullah bersabda :


Artinya :
“ Mencari barang halal hukumnya wajib bagi setiap orang muslim”
( Riwayat Ath Thabrani. Al Munziri mengatakan : Isnadnya Hasan, Insya Allah )
Dari Rafi’ bin Khudajj, bahwa dikatakan : “ Wahai Rasulullah, pekerjaan apakah yang paling baik????”
Rasulullah menjawab :


Artinya :
“ Pekerjaan orang dengan tangannya sendiri dan semua jual beli yang mabrur”
( Riwayat Ahamd dan Al Bazzar serta Ath Thabrani, dari Ibnu Umar dengan sanad perawi-perawi yang tsiqat )


b. Defenisi Jual Beli
Menurut bahasa ( ) Artinya menukar atau menjual, kemudian antara kata ( ) dan ( ) membeli, kadang-kadang yang satu untuk mengartikan yang lain. Oleh sebab itu boleh dikatakan kedua-duanya dianggap searti, meskipun sebenarnya saling berlawanan.
Sedang menurut syara’, yang dimaksud jual beli ialah tukar menukar harta secara suka sama suka, atau memindahkan milik dengan mendapat tukar menurut cara yang diizinkan agama.
Firman Allah Ta’ala :



Artinya :
“ Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ”.
Sedangkan jual beli menurut pengertian lughawinya adalah saling menukar ( pertukaran ). Dan kata Al Bai’ ( jual ) dan Asy Syiraa ( beli ) dipergunakan biasanya dalam penertian yang sama. Dua kata ini masing-masing mempunyai makna dua yang satu sama yang lainnya bertolak belakang. Dan pengertian jual beli menurut syari’at ialah pertukaran harta atas dasar saling rela. Atau memindahkan milik dengan ganti yang dibenarkan .


B. DALIL-DALIL AL QUR’AN, SUNNAH DAN IJMA’
Jual beli dibenarkan oleh Al-Qur’an, As Sunnah dan Ijma’ Ummat.
 Landasan Qur’aninya


Artinya :
“ Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ” ( QS. Al Baqarah : 275 )
 Landasan Sunnahnya


Artinya :
“ Perolehan yang paling afhdhal adalah hasil karya tangan seseorang dan jual beli yang mabrur ”.
 Landasan Ijma’ Ummatnya
Ummat sepakat bahwa jual beli dan penekunannya sudah berlaku dan dibenarkan sejak Zaman Rasulullah hingga hari ini dan seterusnya.






C. MACAM-MACAM JUAL BELI
Jual beli ada tiga macam yaitu :
1. Menjual barang yang ada di tempat dan bisa disaksikan dengan jelas. Ini boleh hukumnya.
2. Menjual sesuatu yang ditanggung aka didatangkan setelah disebutkan sifat-sifatnya, yakni yang disebutkan sifat-sifatnya, yang disebut juga dengan Bai’ As Salam ( menjual barang pesanan ), ini juga boleh hukumnya.
3. Menjual barang yang masih ghaib, tidak ada ditempat dan belum diketahui sifat-sifatnya, baik oleh penjual maupun pembeli atau salah seorang dari keduanya, atau menjual barang yang ada di tempat tapi tidak bisa disaksikan dengan jelas. Ini tidak boleh hukumnya, karena termasuk gharar yang terlarang. Gharar adalah jual beli yang tidak menentu.

D. SEBAB-SEBAB DAN SYARAT-SYARAT JUAL BELI
Sebab – sebab dan syarat-syarat tersebut berkisar pada lima hal yaitu :
1. Tentang akad ( perjanjian )
2. Tentang barang yang menjadi obyek akad ( Al Ma’qud ‘alaih )
3. Tentang orang-orang yang mengadakan akad.
4. Shahih Ladzim
5. Yang membatalkan akad

Yang dimaksud dengan shahih ladzim ialah jual beli yang sesuai dengan tuntunan akad. Syarat ini terbagi pada tiga kategori yaitu :
a. Syarat yang menjadi tuntunan jual beli
b. Syarat yang berkaitan dengan kemaslahatan akad
c. Syarat yang manfaatnya diketahui bersama oleh penjual dan pembeli
Untuk sahnya jual beli, diperlukan agar terpenuhinya syarat-syarat sebagai berikut : Diantaranya ada yang berkaitan dengan orang yang mengadakan akad jual beli, dan ada pula yang berkaitan dengan barang yang di jual-belikan, atau yang disebut juga dengan sasaran akad ( mahallu ta’aqud ), yakni harta yang hendak dipindahkan oleh salah seorang penyelenggara akad tadi kepada yang lain, baik sebagai harga atau yang di hargai.
• AKAD JUAL BELI ( LAFAL-LAFAL JUAL BELI )
Dipersyaratkan agar orang yang mengadakan jual beli itu berakal dan sudah mampu membedakan baik dan buruknya sesuatu ( tamyiz ). Oleh sebab itu akad jual beli yang dilakukan orang gila, orang mabuk dan anakn kecil yang belum tamyiz, semua itu tidak sah. Orang gila yang kadang-kadang sadar kadang-kadang kumat, jual beli yang diadakan ketika sadar itu sah, sedangkan jual beli yang diadakan ketika angot tidak sah.
Sebuah akad dinyatakan sah apabila disertai dengan lafal jual dan beli. Bentuk kata kerja yang dipakai adalah kata kerja masa lalu ( shighah madhiyah ). Misalnya, penjual berkata “ Telah kujual kepadamu ”, dan pembeli berkata, “ Telah kubeli darimu ”. Apabila pembeli berkata, “ juallah barangmu pada ku dengan harga begini ”, kemudian penjual berkata “ Aku telah menjualnya ”. menurut Imam Malik jual beli telah terjadi dan telah merupakan ikatan bagi orang yang meminta, kebuali jika ia bisa mendatangkan alas an lain untuk itu.
Menurut Imam Syafi’I jual beli tidak sempurna kecuali jika pembeli berkata, “ Aku sudah membeli ”.
Begitu pula jika pemibeli berkata kepada penjual, “ Berapa kamu jual barangmu ??”kemudian penjual berkata, “ sekian atau sebegini ”, lalu pembeli berkata, “ Aku beli darimu ”. Maka dalam hal seperti ini diperselisihkan, apakah jual beli tersebut terjadi atau tidak sehingga penjual berkata, “ telah kujual barang itu kepadamu ”.
Menurut Imam Syafi’I, jual beli bisa terjadi baik dengan kata-kata ( lafal ) yang jelas maupun kinayah ( kiasan ). Sepengetahuan saya, tidak ada pendapat Imam Malik dalam masalah ini. Selanjutnya Imam Syafi’I berpendapat bahwa mengambil dan memberi tidak cukup tanpa ada kata-kata.
Dan sepengetahuan saya, tidak diperselisihkan lagi bahwa ijab dan qabul yang mempengaruhi terjadinya jual beli, salah satunya tidak boleh terlambat dari yang lain. Misalnya, jika penjual berkata “ Aku jual barangku begini ”, lalu pembeli diam dan tidak menerima jual beli hingga keduanya berpisah, maka jika pembeli datang kembali sesudah itu dan berkata, “ Aku menerima ”, maka kata-kata tersebut tidak merupakan ikatan bagi sipenjual.
Kemudian para Fuqoha berselisih pendapat tentang waktu terjadinya ikatan jual beli. Menurut Imam Malik, Abu Hanifah, dan para pangikut keduanya serta golongan Fuqoha Madinah, ikatan jual beli terjadi dalam majelis walaupun kedua belah pihak belum berpisah.
Sedang Imam Syafi’I, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Daud, dan Ibnu Umar dari kalangan sahabat mengatakan bahwa jual beli terjadi ( sudah mengikat ) dengan terjadinya perpisahan dari majelis. Dan bahwa jika keduanya belum berpisah, maka jual beli tidak terjadi dan tidak mengikat. Pendapat seperti ini juga dikemukakan oleh Ibn Abi Dzi’b dari golongan Fuqaha Madinah, Suwar Al Qadhi, Ibnul Mubarak, SYuraihal Qadli, segolongan tabi’in dan lain-lainnya. Pendapat tersebut juga diriwayatkan Ibnu Umar ra. Dan Abu Barzah Al Aslami ra., dari kalangan sahabat tanpa ada sahabat lain yang menentangnya.
Fuqaha yang mensyaratkan khiyar majelis berpegangan pada Hadits Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar ra. Bahwa Rasulullah bersabda :




Artinya :
“ Dua orang yang berjual beli, msing-masing dari keduanya boleh melakukan khiyar atas lainnya selama keduanya belum berpisah kecuali jual beli khiyar .”
Semua pihak berpendapat bahwa isnad Hadits tersebut adalah yang terkuat dan yang paling shahih, sehingga Abu Muhammad mengira bahwa isnad tersebut menimbulkan keyakinan meskipun melalui jalan perorangan.
Fuqaha yang berbeda pendapat dengan mereka mengemukakan alas an pendapat yang kacau dalam menolak penggunaan Hadits tersebut. Dalam menolak Hadits tersebut, Imam Malik berpegangan pada alas an, bahwa ia tidak menemukan penduduk Madinah melakukan khiyar majelis. Disamping itu, ia berpendapat bahwa Hadits tersebut bertentangan dengan Hadits munqathi’ yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra., ia berkata :



Artinya :
“ Siapa saja dua orang yang berjual beli, maka yang menjadi pegangan adalah perkataan penjual atau saling mengembalikan.”
Dari sini bisa dipahami bahwa seolah-olah Imam Malik mengartikan Hadits tersebut kepada keumumannya dan ini mengharuskan adanya jual belipada majelis atau sesudahnya. Hadits ini munqathi’ , dan tida bisa menentang Hadits yang pertama. Apalagi pertentangan tersebut hanya berdasarkan perkiraan akan adanya keumuman pada Hadits munqathi’ tersebut. Yang lebih baik adalah jika Hadits terakhir ( munqathi’ ) ini ditegakkan atas Hadits pertama. Sepengetahuan saya, Hadits terakhir ini tidak pernah diriwayatkan oleh seseorang dengan musnad ( yakni disandarkan kepada Nabi saw,. ). Begitulah pegangan Imam Malik dalam meninggalkan Hadits tersebut.
Dalam menolak Hadits khiyar ini, para pengikut Imam Malik berpegangan pada lahiriah dalil-dalil sami’ dan qiyas. Dan di antara dalil lahir yang paling jelas dalam masalah ini ialah firman Allah :




Artinya :
“ Hai orang - orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu .”
Yang dimaksud dengan akad ialah ijab dan qabul, dan perintah tersebut menunjukkan wajib, sedang khiyar majelis mengharuskan ditinggalkannya pemenuhan akad. Sebab menurut fuqaha pembeli dan penjual dibolehkan menarik kembali dalam jual beli sesudah menelitinya selama kedua belah pihak belum berpisah dalam majelis.
Akan halnya penggunaan dasar dari qiyas, mereka mengatakan bahwa jual beli tersebut adalah ‘aqd mu’aqadhah ( akad imbalan ). Karenanya, khiyar majelis tidak berpengaruh terhadapnya. Disini yang menjadi pokok pengqiyasannya ialah akad-akad lain seperti perkawinan, akad kitabah ( pembebasan budak dengan cara mencicil harganya ), khulu’ ( talak tebusan ), pergadaian, dan perdamaian atas qishash karena pembunuhan disengaja.
Maka kepada mereka bisa dikatakan bahwa dalil-dalil lahir yang dipakai sebagai alasan ditakhsiskan oleh Hadits khiyar tersebut. Dan untuk menghadapi Hadits tersebut, yang bisa digunakan hanyalah Qiyas. Berdasarkan hal ini, qiyas harus lebih dikuatkan atas Hadits. Dan ini adalah mazhab ( jalan ) yang sudah ditinggalkan oleh kalangan ulama Malikiah. Meski dalam hal ini pernah diriwayatkan dari Imam Malik tentang adanya penguatan qiyas atas dalil Sam’I seperti pendapat Imam Abu Hanifah.
Terhadap hal itu, para fuqaha tersebut menjawab bahwa cara tersebut tidak termasuk dalam bab penolakan Hadits dengan qiyas atau penguatan terhadap qiyas, tetapi termasuk dalam bab penafsiran dan penbelokan Hadits dari arti lahirnya. Mereka mengatakan bahwa penafsiran makna lahir dengan qiyas telah disepakati kebolehannya dikalangan ulama Ushul. Mereka juga mengatakan bahwa kami mempunyai dua penafsiran terhadapnya. Pertama, kedua orang yang berjual beli dalam Hadits tersebut adalah dalam keadaan sedang tawar menawar. Jadi, antara keduanya belum terjadi jual beli. Terhadap penafsiran ini dapat juga dikatakan kepada mereka bahwa jika demikian halnya, maka haduts tersebut tidak ada Artinya. Karena seperti diketahui dari hutang hamba sahaya perempuan ( dainul amah ) bisa diadakan khiyar antara kedua belah pihak lantaran antara keduanya belum terjadi akad dengan kata-kata. Kedua, perpisahan yang dimaksud dalam Hadits tersebut adalah kinayah tentang perpisahan dengan kata-kata, bukan perpisahan dengan badan seperti yang difirmankan Allah :


Artinya :
“ Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberikan kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya ”.
Sanggahan terhadap penafsiran kedua adalah bahwa kata-kata berpisah tersebut adalah majazi, bukan hakiki. Sedang makna hakikinya adalah pisah dengan badan.
Segi pentarjihan dalam masalah ini ialah agar antara lahiriah kata-kata tersebut dengan qiyas dibandingkan, kemudian dimenangkan yang lebih kuat diantara keduanya. Rahasia hikmah dalam kesemuanya ini ialah karena adanya penyesalan.
• OBYEK AKAD YANG DIPERJUAL BELIKAAN
Disyaratkan agar barang yang menjadi obyek akad selamat dari kesamaran dan riba. Karena barang-barang yang yang diperselisihkan dan disepakati serta sebab-sebab perbedaandalam masalah ini sudah dikemukakan dimuka, disini tidak perlu diulang kembali. Yang jelas bahwa kesamaran dapat terhindar dari sesuatu barang manakala diketahui wujud, sifat, dan kadarnya, juga dapat diserahkan, yakni pada kedua ujungnya harga dan barang dan diketahui pula masanya, yakni jika dalam bentuk jual belitidak tunai.
• SYARAT BARANG YANG DIPERJUAL BELIKAN SEBAGAI BERIKUT
1. Bersihnya barang
2. Dapat dimanfaatkan
3. Milik orang yang melakukan akad
4. Mampu menyerahkannya
5. Mengetahui
6. Barang yang diakadkan ada ditangan.


• MEMPERSIAPKAN AKAD JUAL BELI
Allah ta’ala telah menyuruh agar ketika mengadakan akad Jual beli ada orang lain yang ikut menjadi saksi. Firmannya dalam Al-Qur’an :


Artinya :
“ Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli dan janganlah penulis dan saksi saling menyulitkan ”.
Perintah mempersaksikan akad jual beli tersebut diatas hanyalah sekedar anjuran dan bimbingan kepada sesuatu yang lebih baikdan maslahat, bukan mewajibkan, demikian pendapat segolongan ulama.
Al Jashhash berkata dalam kitabnya, “ Ahkam Al-Qur’an ”. “ Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para Fuqoha diberbagai kota, bahwa perintah Allah untuk menuliskan akad jual beli, mempersaksikan maupun mengadakan barang tanggungan ( borg ) itu hanyalah merupakan anjuran dan bimbingan kearah yang lebih baik dan lebih menguntungkan bagi kita serta berhati-hati, baik yang menyangkut soal agama maupun harta.
Umat Islam dari satu generasi ke generasi yang lain telah melakukan akad-akad utang piutang, beli membeli maupun jual menjual di kota-kota mereka tanpa mempersaksikanya kepada orang lain, padahal para Fuqoha mereka tentu tahu itu, namun tidak seorang pun diantaranya yang menyatakan ketidak setujuannya atas perbuatan mereka.
Itu menunjukkan bahwa para Fuqoha itu hanya menganggap perkara ini mandub saja. Dan agaknya anggapan ini telah berpindah dari sejak masa Nabi saw, sampai sekarang. Dan andaikata para sahabat Nabi atau para Tabi’in pada mempersaksikan tiap-tiap jual beli mereka,tentu ada berita yang sampai kepada kita secara mutawatir dimana tak seorangpun tidak mendengar, dan tentu ada celaan terhadap orang yang melakukan jual beli tanpa mempersaksikannya.
Oleh karena tidak ada berita mutawatir darti mereka tentang penyaksian ini, juga tidak ada pengingkaranumum atas orang yang tidak melakukannya, maka jelaslah bahwa mempersaksikanutang dan jual beli tidak ada yang wajib.
• KEDUA PIHAK YANG MELAKUKAN AKAD
Disyaratkan kepada kedua orang yang melakukan akad ( jual beli ) agar keduanya sama-sama mempunyai hak milik, sempurna pemilikannya, atau menjadi wakil kedua-duanya yang sempurna perwakilannya. Disamping itu disyaratkan pula bahwa keduanya atau salah satunya tidak berada dibawah pengampunan, baik pengampunan untuk menjaga hak keduanya seperti orang dungu bagi fuqaha yanf mengatakan bahwa orang tersebut harus berada dibawah pengampunan, atau untuk menjaga hak orang lain seperti hamba sahaya kecuali jika hamba sahaya ini diizinkan berdagang.
JUAL BELI FUDHULI
Bertolak dari persoalan tersebut, timbul silang pendapat diantara fuqaha mengenai jual beli orang Fudhuli. Yakni apakah jual beli tersebut sah atau tidak? Gambaran jual belin tersebut adalah jika seseorang menjual harta orang lain dengan syarat bahwa apabiula sipemilik barang tersebut suka, maka jual beli itu diteruskan, dan jika tidak suka , maka pembelian tersebut batal.
Imam Sayfi’I melarang kedua jual beli tersebut pada kedua seginbya. Dan sebaliknya, Imam Malik membolehkannya, tetapi ia melarang dalam hal membeli.
Pendapat ulama malikiyah didasarkan atas Riwayat Hadits berikut :







Artinya :
“ Sesungguhnya Nabi saw. Memberi ( uang ) satu dinar kepada Urwah AL-Bariqi dan berkata, “ Belilah untuk kami seekor kambing dari dagangan keliling ini .” Urwah berkata ,“ Maka aku membeli dua ekor kambing dengan satu dinar, lalu akun jual salah saut dari kedua kambing tersebut denagn satu dinar .” Kemudian aku berkata, “ Ya Rasulullah, inilah kambingmu dan dinarmu .” Lalu Rasulullah saw berkata, “ Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadanya ( Urwah ) dalam jual belinya .”
Segi pengambilan dalil ( istidlal ) dari Hadits tersebut adalah bahwa Nabi saw tidak menyuruh apapun kepada Urwah pada kambing yang kedua, baik membeli maupun menjualnya. Sikap Nabi yang demikian itu dijadikan alasan oleh mereka mengenai sahnya pembelian untuk orang lain. Dan pendapat ini melemahkan pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’I pada hal kedua bersama.
Imam Sayfi’I beralasan pada larangan yang dikeluarkan berkenaan dengan penjualan seseorang terhadap sesuatu yang tidak ada ditangannya.
Fuqaha Maliki menafsirkan Hadits tersebut keapda pembelian untuk dirinya dan bukan untuk orang lain. Mereka mengatakan, “ Dalilnya adalah bahwa larangan hanya berlaku pada Hakim bin Hizam, dan persoalan ini sudah terkenal .” Yakni bahwa ia menjual untuk dirinya sendiri dan apa yang tidak ada pada dirinya.
Pangkal silang pendapat merupakan persoalan yang masyhur, yakni jika suatu larangan datang karena suatu sebab tertentu, apakah larangan tersebut ditafsirkan hanya kepada sebabnya atau bersifat umum.

E. RUKUN JUAL BELI
Rukun jual beli ada tiga macam yaitu :
a. Orang yang mengadakan akad
b. Barang yang diakadkan
c. Sighat
Yang mengadakan akad adalah penjual dan pembeli. Barang yang diakadkan ialah barang yang dipertukarkan, atau tegasnya barang dan uang. Dan shighat maksudnya ialah ijab qabul.
Untuk penjual dan pembeli dipersyaratkan hendaknya terdiri dari orang yang layak mengadakan akad . Maka tidaklah sah jual beli yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila maupun orang yang tidak genap akalnya. Lain dari itu hendaklah jual beli yang mereka lakukan itu atas dasar pilihan mereka sendiri. Jadi, orang yang dipaksa melakukan jual beli, jual belinya tidak sah, kecuali bila pemaksaan itu dibenarkan alasannya, seperti orang yang diharuskan menjual hartanya untuk membayar hutang, atau membeli sesuatu yang sudah dipesan. Disini hakim memang berhak memaksa seseorang untuk menjual atau membeli.
Shighat atau jab qabul adalah berupa kata-kata penjual, umpamanya : “ Saya jual padamu…………….” Atau : “ Saya serahkan ini………….. untuk kamu miliki ”. kemudian sipembeli mengucapkan, “ Saya terima ”, atau “ Ya, saya beli ”.
Maka dari itu, sekedar saling memberi seperti yang sudah biasa berlaku, belumlah memenuhi persyaratan jual beli sebagaimana yang diminta, karena belum ada shighatnya.
Namun begitu, perhatikanlah pandangan Ibnu Syarih yang mengatakan, “ untuk barang-barang yang harganya tidak seberapa yang merupakan keperluan sehari-hari, dengan sekedar saling menyerahkan itu pun sudah memenuhi syarat .” Dan agaknya demikian pula fatwa yang pernah dikeluarkan oleh Ar-Royani dan juga yang lain.
Menurut Imam Malik, jual beli bisa diselenggarakan denagn cara apapun yang oleh semua orang sudah bisa dianggap jual beli. Pendapat sang Imam ini dinilai baik sekali oleh Ibnu Ash Shabbagh, yang kemudian oleh An Nawawi ditanggapi positif.
An Nawawi mengatakan, bahwa apa yang dinilai baik oleh Ibnu Ash Shabbagh iutlah agaknya yang patut dipilih. Karena persyaratan yang mengharuskan adanya ucapan ijab qabul itu sebenarnya tidak benar menurut Syara’. Oleh karenanya harus berpedoman pada adat kebiasaan ( ‘Uruf ).
Adapun yang menyebabkan ratanya kekacauan adalah kebiasaan menyuruh anak kecil membeli barang-barang kebutuhan, dan kebiasaan ini agaknya sudah berlaku dimana-mana. Maka dalam keadaan demikian hukumnya harus disamakan dengan soal saling menyerahkan mu’athat seperti tersebut di atas. Artinya, kalau barang yang dibeli anak kecil itu termasuk barang yang boleh dijual belikan tanpa shighat, maka jual beli itu sah, asal barang yang diterima sepadan dengan harganya. Alasannya, karena di masa kekhalifahan Sayidina Umar ra. Ada juga ibu-ibu yang menyuruh budak-budak wanita dan anak-anak untuk membelikan beberapa keperluan, dan Umar tidak melarang. Demikian pula di masa sesudah beliau, baik pada angkatan Salaf maupun Khalaf.
F. HUKUM JUAL BELI
Orang yang terjun kedunia usaha, berkewajiban mengetahui hal-hal yang dapat mengakibatkan jual beli itu sah atau tidak ( vasid ). Ini dimaksudkan agar mu’amalah berjalan sah dan segala sikap dan tindakannya jauh dari kerusakan yang tidak dibenarkan.
Diriwayatkkan, bahwa Umar ra. Berkeliling pasar dan beliau memukul sebagian pedagang dengan tongkat, dan berkata : “ Tidak boleh ada yang berjualan dipasar kami ini, kecuali mereka yang memahami hukum. Jika tidak, maka dia berarti memakan riba, sadarkah ia atau tidak”.
Tak sedikit kaum muslimin yang mengabaikan mempelajari mu’amalah mereka melalaikan aspek ini, sehingga tak peduli kalau mereka memakan barang haram, sekalipun semakin hari usahanya kian meningkat dan keuntungan semakin banyak.
Sikap semacam ini merupakan kesalahan besar yang harus diupayakan pencegahannya, agar semua orang yang terjun kedunia ini dapat membedakan., mana yang boleh dan baik dan menjauhkan diri dari segala yang syubhat sedapat mungkin.
G. YANG MEMBATALKAN JUAL BELI
• MENJUAL BARANG YANG SUDAH DI BELI ORANG
Kadang – kadang seseorang yang begitu saja menjual dagangannya, padahal barang itu sudah dibeli orang. Perbuatan inin jelas tidak boleh untuk dilakukan bahkan haram hukumnya.
Dari Umar ra. Merwayatkan sebuah Hadits dari Nabi saw bahwa beliau bersabda :

Artinya :
“ Janganlah seorang dari kamu sekalian menjual sesuatu yang sudah dibeli saydaranya .”
Dalam Shahih Bukhari-Muslim, ada diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Bahwa Nabi saw bersabda :

Artinya :
“ janganlah seseorang menjual barang yang sudah dibeli saudaranya .”
Dan diriwayatkan pula oleh Ahmad, An Nasa’I, Abu Daud dan At Tirmidzi menilai bahwa Hadits ini adalah hasan :

Artinya :
“ Bahwa barang siapa menjual barang kepada dua pembeli, maka barang itu kepunyaan pembeli yang pertama ”.
Prakteknya digambarkan oleh An Nawawi, bahwa seseorang menjual suatu barang dengan syarat khiyar untuk membeli. Kemudian datanglah orang lain kepada pembeli tadi lalu menyuruhnya membatalkan jual beli tersebut, karena dia hendak menjual kepadanya seperti yang telah dia beli dengan harga yang lebih murah.
Adapun gambaran pembeli barang yang sudah dibeli oleh orang lain adalah apabila hak khiyar itu diberikan kepada pihak penjual. Artinya setelah akad jual beli itu diucapkan, maka datanglah pembeli yang lain kepada penjual, lalu menyuruhnya membatalkan jual beli tersebut, dengan tujuan ia hendak membeli darinya barang yang sudah dia jual itu dengan harga yang lebih tinggi..
Semua perbuatan ini, baik yang berupa penjualan maupun pembelian, semua itu berdosa dan tak boleh dilakukan, sekalipun jual beli itu tetap sah. Artinya, kalau tahu-tahu ada orang datang lalu terjadilah penjualan itu atau pembelian itu, maka jual nbeli itub tetap sah, demikian menurut Syafi’I, Abu Hanifah, dan Fuqaha yang lain. Tetapi menurut Daud bin Ali, tokoh utama Ahli Zhahir, dalam hal ini jual beli itu tidak sah. Dan konon ada dua macam periwayatan dari Imam Malik dalam masalah ini.
Lain halnya tawar menawar harga ketika berjual beli, ini sih boleh saja dilakukan. Karena masih dalam bentuk penawaran, akad belum lagi terselenggarakan. Bukankah Nabi saw juga dikabarkan pernah menawarkan suatu barang, dan ketika itu beliaun mengucapkan, “ Siapa menambah ?” Maksudnya, siapa berani menawar lebih tinggi.


• BARANG SIAPA MENJUAL BARANG KEPADA DUA PEMBELI MAKA BARANG ITU KEPUNYAAN PEMBELI YANG PERTAMA
Bila ada orang telah menjual barang kepada seorang pembeli kemudian datanglah pembeli yang lain lalu dia menjual barang tersebut kepadanya, maka penjualan yang kedua itu tidak sah, bahkan batal. Karena berarti penjual itu menjual barang yang sudah bukan miliknya lagi. Sebab barang itu sudah menjadi milik pembeli yang pertama. Dan dalam hal ini tidak berada apakah penjualan yang kedua itu terjadi selagi masih dalam waktu khiyar atau sesudah habisnya masa khiyar. Karena begitu dijual, maka barang itu langsung keluar dari kekuasaan penjual.





Artinya :
“ Dari samurah ra. Dari Nabi saw beliau bersabda : “ Bila ada seorang wanita dikawinkan oleh kedua orang walinya, maka ia menjadi isteri dari orang yang lebih awal dinikahkan. Dan bila ada seseorang menjual barang kepada dua orang pembeli, maka barang itu menjadi milik pembeli yang lebih awal ”.
H. HIKMAH DAN FADHILAH JUAL BELI
Hikmah dilarangnya menjual belikan barang sebelum qabdhunya karena barang tersebut masih berada dalam jaminan penjual yang apabila terjadi kerusakan, menjadi tanggungan penjual. Jika sipembeli menjual barang dalam seperti ini dan dia mendapatkan untung itu merupakan keuntungan barang yang tidak ada resiko kerusakannya.
Dalam kaitan inilah Ashabus Sunan meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw., melarang jual beli yang menguntungkan selama belum menanggung resiko.
Bahwa pembeli yang menjual barang belian sebelum qabdhu sama halnya dengan orang yang menyerahkan sejumlah uang kepada pihak lain dengan harapan akan mendapatkan lebih banyak dari jumlah uang yang ia serahkan, kecuali itu, bahwa sipembeli mengharapkan agar maksudnya dapat tercapai dengan memasukkan barang kepada dua pihak yang berakad. Maka cara seperti itu mirip dengan riba. Ibnu Abbas memperjelas masalah ini. Dia pernah ditanyakan tentang sebab pelarangan jual beli seperti ini. Ia berkata : “ Itu untuk dirham dengan dirham, buat barang pangan; rusak ”.
Dalam hal ini, hikmah jual beli juga kita dapatkan dalam kehidupan sehari-hari seperti didalam kehidupan, Individu, Masyarakat, dan Negara.
 Hikmah jual beli dalam kehidupan Individu yang didapatkan oleh antara sipenjual dan sipembeli antara lain sebagai berikut :

A. Penjual
• Mendapat rahmat dan keberkahan dari Allah swt dengan mengikuti apa yang telah disyari’atkan.
• Dapat berniaga dengan aman tanpa berlakunya khianat, mengkhianati antara yang satu dengan yang lainnya.
B. Pembeli
• Berpuas hati atas urusan niaga yang dijalankan karena peniaga menjalankan urusan mengikut syariat Islam.
• Mendapat keridhaan dan rahmat dari Allah swt diatas urusan niaga yang berlandaskan syariat Islam.
• Terhindar dari siksaan api neraka
 Hikmah jual beli dalam kehidupan bermasyarakat yang didapatkan antara sipenjual dan sipembeli adalah sebagai berikut :
a. Penjual dan Pembeli
• Menyenangkan manusia bertukar-tukar faedah harta dalam kehidupan sehari-hari.
• Menghindarkan kejadian rampas merampas dan ceroboh mencerobohi dalam usaha memiliki harta.
• Menggalakkan orang ramai supaya hidup berperaturan bertimbang rasa jujur dan ikhlas.

 Hikmah jual beli dalam kehidupan bernegara yang didapatkan antara sipenjual dan sipembeli adlah sebagi berikut :
b. penjual dan pembeli
• Meningkatkan pertumbuhan ekonomi Negara ketahap yang lebih baik.
• Dapat menarik pelabur asing untuk melabur dalam ekonomi Negara.
• Menggalakkan persaingan ekonomi yang sehat sesama Negara Islam.



 JUAL BELI DI PLAZA MENURUT HUKUM ISLAM
Plaza adalah ruang publik terbuka (open air), biasanya minimal ada satu bangunan yang menyertainya, kadang dikelilingi bangunan lain. Dalam terminologi budaya kita dikenal sebagai alun-alun, sebuah ruang publik terbuka yang dibatasi oleh bangunan pemerintahan, masjid, penjara dan pasar.
Dari penjelasan macam-macam jual beli diatas bahwa jual beli ada tiga macam, maka dari itu jual beli di plaza itu dibolehkan, karena kita melihat point pertama yaitu : menjual barang yanga da ditempat dan disaksikan dengan jelas.
Al-Omar dan Abdel-Haq (1996) menjelaskan perlu adanya kejelasan dari obyek yang akan dijualbelikan. Kejelasan tersebut paling tidak harus memenuhi empat hal. Pertama, mereka menjelaskan tentang lawfulness. Artinya, barang tersebut dibolehkan oleh syariah Islam. Barang tersebut harus benar-benar halal dan jauh dari unsur-unsur yang diharamkan oleh Allah. Tidak boleh menjual barang atau jasa yang haram dan merusak. Kedua, masalah existence. Obyek dari barang tersebut harus benar-benar nyata dan bukan tipuan. Barang tersebut memang benar-benar bermanfaat dengan wujud yang tetap. Ketiga, delivery. Artinya harus ada kepastian pengiriman dan distribusi yang tepat. Ketepatan waktu menjadi hal yang penting disini. Dan terakhir, adalah precise determination. Kualitas dan nilai yang dijual itu harus sesuai dan melekat dengan barang yang akan diperjualbelikan. Tidak diperbolehkan menjual barang yang tidak sesuai dengan apa yang diinformasikan pada saat promosi dan iklan.
Dari penjelasan Al Omar dan Abdel Haq ( 1996 ) dapat kita lihat bahwa plaza itu memenuhi dari empat hal yang disebutkan diatas.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Jual beli menurut bahasa ( ) Artinya menukar atau menjual, sedangkan menurut syara’, yang dimaksud jual beli ialah tukar menukar harta secara suka sama suka, atau memindahkan milik dengan mendapat tukar menurut cara yang diizinkan agama.
Dalil-dalil jual beli terdiri :
• Al Qur’an
• Sunnah
• Ijma’.
Macam – macam jual beli terdiri dari :
Jual beli ada tiga macam yaitu :
• Menjual barang yang ada di tempat dan bisa disaksikan dengan jelas. Ini boleh hukumnya.
• Menjual sesuatu yang ditanggung aka didatangkan setelah disebutkan sifat - sifatnya, yakni yang disebutkan sifat-sifatnya, yang disebut juga dengan Bai’As Salam ( menjual barang pesanan ), ini juga boleh hukumnya.
• Menjual barang yang masih ghaib, tidak ada ditempat dan belum diketahui sifat-sifatnya, baik oleh penjual maupun pembeli atau salah seorang dari keduanya, atau menjual barang yang ada di tempat tapi tidak bisa disaksikan dengan jelas. Ini tidak boleh hukumnya, karena termasuk gharar yang terlarang. Gharar adalah jual beli yang tidak menentu.

Sebab – sebab dan syarat-syarat tersebut berkisar pada lima hal yaitu :
• Tentang akad ( perjanjian )
• Tentang barang yang menjadi obyek akad ( Al Ma’qud ‘alaih )
• Tentang orang-orang yang mengadakan akad.
• Shahih Ladzim
• Yang membatalkan akad
Rukun jual beli ada tiga macam yaitu :
 Orang yang mengadakan akad
 Barang yang diakadkan
 Sighat
Yang membatalkan :
• Menjual barang yang sudah di beli orang
• Barang siapa menjual barang kepada dua pembeli, maka barang itu kepunyaan pembeli pertama
BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah
Tanggung jawab pendidikan Islam adalah menyelenggarakan lembaga pendidikan agama Islam.
Penanggung jawab pendidikan islam menurut ajara pendidikan islam adalah seluruh manusia bertanggung jawab untuk mendidik diri sendiri karena ajaran islam menekankan tanggung jawab sendiri-sendiri dalam menghadapi masalah, orang tua bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya dalam keluarga.
Tanggung jawab yang paling menonjol dan mendapat perhatian besar dalam islam adalah tanggung jawab pendidik terhadap individu-individu yang memerlukan pengarahan, pengajaran, dan pendidikan.
B. Tujuan Pembahasan
1. Agar kita mengetahui lebih dalam lagi tentang tanggung jawab pendidikan islam
2. Mengetahui apa-apa yang ada didalam pendidikan islam
C. Perumusan Masalah
Makalah ini dibuat untuk membahas mengenai tanggung jawab pendidikan Islam , dan siapa-siapa saja yang bertanggung jawab dalam pendidikan islam.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Tanggung Jawab Pendidikan Islam
Sebelum memasuki siapa yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan lembaga pendidikan agama Islam. Lebih baik kita melihat pendapat para ahli dalam merumuskan penanggung jawab penyelenggaraan pendidikan secara umumnya. Seorang ahli filsafat, antropologi, dan fenomenologi bernama langeveld mengatakan bahwa yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan adalah :
1. Lembaga keluarga yang mempunyai wewenang yang bersifat kodrati
2. Lembaga Negara yang mempunyai wewenang berdasarkan undang-undang.
Sebagai mana kita ketahui bahwa pendidikan merupakan ujung tombak majunya suatu negaranya. Ilustrasi bahwa lemahnya pendidikan yang mengakibatkan kebodohan, sedangkan kebodohan mengakibatkan kemiskinan. Tentu saja, kemiskinan yang ditanggung oleh bangsa dan Negara akan menyesengsarakan bangsa dan negara itu sendiri.
Islam mewajibkan seluruh umatnya untuk mencari ilmu. Karena hukum mencari ilmu itu wajib. Berdosalah bagi manusia yang mengakui muslim, tetapi tidak mau mencari ilmu. Sebagai mana Ki hajar. Dewantara (RM Soewardi soerjaningrat) memfokuskan penyelenggaraan lembaga pendidikan dengan tricentra yang merupakan tempat pergaulan anak didik dan sebagai pusat pendidikan yang amat penting baginya. Trisentra adalah:
1. Alam keluarga yang membentuk lembaga pendidikan keluarga.
2. Alam perguruan yang membentuk lembaga pendidikan sekolah
3. Alam pemuda yang membentuk lembaga pendidikan masyarakat.
Sementara menurut Sidi Gzalba. Yang berkewajiban menyelenggarakan lembaga pendidikan adalah:
1. Rumah tangga, yaitu pendidikan primer untuk fase bayi dan fase kanak-kanan sampai usia sekolah. Pendidikannya adalah orang tua, sanak famili, saudara-saudara, teman-teman sepermainan, dan kenalan pergaulan.
2. Sekolah , yaitu pendidikan sekunder yang mendidik anak mulai dari usia masuk sekolah sampai ia keluar dari sekolahtersebut. Pendidikan adalah guru yang professional; dan
3. Kesatuan sosial yaitu pendidikan tersier yang merupakan pendidikan yang terakhir tetapi bersifat permanen. Pendidikannya adalah kebudayaan, adapt istiadat, dan suasana masyarakat setempat.
Apakah dalam Islam sama dengan pendapat diatas? Kiranya dapat dijawab “YA” Hanya saja kurang lengkap. Pernyataan itu dapat kita lihat, Islam mengajarkan agar seorang muslim harus mencari ilmu secara individual, karena ilmu merupakan syarat mutlak bagi kehidupan muslim sejati, baik untuk kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat.Didalam hadits juga dinyatakan” mencari ilmu itu wajib bagi muslim laki-laki dan muslim perempuan”.
Islam juga mengajarkan untuk amar ma’ruf nahi munkar terhadap lingkungan sekitarnya. Ajaran ini berimplikasian bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab keluarga, sekolah, pemerintah, dan lingkungan sosial. Dari uraian tersebut , dapat disusun lembaga, lembaga pendidikan islam menurut hierarkinya, baik hierarki dalam aspek historis maupun perkembangan pola dan sistem yang digunakan.
Wujud lembaga pendidikan islam banyak sekali, seperti:
1. Masjid, musollah
2. Madrasah dan pondok pesantren (kuttab);
3. Pengajian dan Penerangan Islam (Majlis Ta’lim);
4. Kursus-kursus keislaman ( Training-training keislaman)
5. Badan-badan pembinaan rohani(Biro pernikahan, biro konsultasi keagamaan;
6. Badan-badan konsultasi keagamaan ;
7. Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ).
Sebagai bentuk Rahman dan Rahimnya setiap manusia yang berilmu akan diangkat derajatnya. Firmannya dalam surah Al-Mujdadilah : 11






Artinya:
“ Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu” Berilah kelapangan dalam majlis-majlis”, maka lapangkanlah , niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan “ Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat ( derajat) orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah maha teliti apa yang kamu kerjakan. (QS.Mujdadilah :11).
Ayat Al-Qur’an diatas bukan hanya menyatakan janji Allah yang akan mengangkat harkat dan martabat orang yang beriman dan berilmu, tetapi lebih dalam lagi, yaitu mewajibkan umat Islam untuk membangun lembaga pendidikan Islam sebaik mungkin.

Ayat Famsahu fi Al majalis dapat ditafsirkan dengan dua hal yaitu:

1. Kewajiban mendirikan lembaga pendidikan Islam
2. Kewajiban membangun lembaga pendidikan Islam yang luas, memadai dan fasilitas yang modern.
Itulah pandangan ajaran islam tentang pendidikan Islam. Al-Qur’an Dan Al-Hdits mewajibkan umat Islam mencari ilmu dan membangun lembaga pendidikan Islam. hal ini karena dengann ilmu pendidikan Islam, umat islam akan terhindar dari pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai sekularitas dan paham liberisma. Pendidikan islam dibangun bukan sekedar pengguguran kewajiban, tetapi sebagai cita-cita dan tujuan hidup umat islam.
Karena mencari ilmu dan membangun pendidikan merupakan kewajiban, ajaran islam pun mewajibkan kepada umatnya untuk mendidik. Kewajiban mendidik diarahkan pada ruang lingkup pendidikan yang jelas, yaitu:
1. pendidikan dalam keluarga
2. pendidikan disekolah
3. pendidikan dilingkungan masyarakat

Tanggung jawab yang paling menonjol dan mendapat perhatian besar dalam islam adalah tanggung jawab pendidik terhadap individu-individu yang memerlukan pengarahan, pengajaran, dan pendidikan. Hal ini terbukti dengan banyaknya ayat maupun hadits yang memerintahkan kepada para pendidik untuk memikul tanggung jawabnya serta memberi peringatan jika ia meremehkan kewajibannya.
Pada hakikatnya tanggung jawab pendidikan itu adalah tanggung jawab yang besar dan penting. Sebab pada tatanan operasionalnya, pendidikan merupakan pemberian bimbingan, pertolongan, dan bantuan dari orang dewasa atau orang yang bertanggung jawab atas pendidikan kepada anak yang belum desawa. Dewasa dari segi rohaniyah dan jasmaniyah didalam ketakwaan kepada Allah SWT; yang ditampilkan berupa tanggung jawab atas sikap dan tinggkah lakunya pada diri sendiri, pada masyarakat dan pada Allah SWT.
Ilmu pendidkan islam telah menunjukkan pada tataran konseftual proses pendidikan dalam keluarga sebagai realisasi tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anaknya, antara lain adalah aspek-aspek pendidik ( Islam ) yang sangan penting untuk diperhatikan oleh orang tua dalam mendidik anaknya. Aspek-aspek tersebut seperti, dikemukakan oleh chabib thaha (1996:105) adalah aspek pendidikan ibadah pokok-pokok pendidikan islam dan membaca Al-Qur’an, aspekj pendidikan Akhlakul karimah dan aspek pendidikan akidah islamiah
Ditegaskan pula Hadari Nawari bahwa pokok-pokok pendidikan islam dalam keluarga adalah membantu anak-anak memahami norma-norma islam agar mampu melaksanakan untuk memproleh ridha Allah SWT ( Hadari Nawari, 1993: 160)

B. Penanggung jawab pendidkan islam menurut ajaran Pendidikan Islam

Penanggung jawab pendidikan islam menurut ajaran islam adalah :
1. Seluruh manusia bertanggung jawab untuk mendidik diri sendiri karena ajaran islam menekankan tanggung jawab sendiri-sendiri dalam menghadapi maslaah. Oleh karena itu semua orang berkewajiban selalu melakukan introspeksi, mawasdiri, control diri ibdabinafsi dan menghisab kehidupannya setiap saat, serta senanti asa belajar dari kesalahan, kekhilafan, dan meningkatkan kehidupan yang lebih baik dimasa depan.
2. orang tua bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya dalam keluarga. Tanggung jawab itu dipikul karena setiap baby yang dilahirkan dalam keadaan fitrah maka bergantung pada orang tuanya apakah anaknya mau dimajusikan, mau diyahudikan dan mau dinasranikan atau tetap dalam keadaan fitrahnya, yakni menjadi manusia yang muslim dan berserah diri kepada Allah SWT. Tanggung jawab orang tua bukan hanya dalam mendidik melainkan membiayai pendidikan, mencukupi literature bagi anak-anaknya, memberrikan kebutuhan sekolahnya, dan mengajrinya dirumah sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

3. pemerintah karena memperoleh pendidikan merupakan hak rakyat yang dilindungi oleh UUD 1945. pemerintah akan negara berkewajiban akan meringankan biaya pendidikan agar semua masyarakat dapat menjangkau pendidikan dengan biaya yang murah.
4. para guru disekolah.
5. seluruh anggota masyarakat. Semua warga masyarakat berkewajiban mendukung Wajib Belajar Sembilan Tahun.
Ajaran islam menekankan agar setiap manusia dapat memelihara keluarganya dari bahaya siksa api neraka, juga termasuk menjaga anak dan harta agar tidak menjadi fitnah, yaitu mendidik anak sebaik-baiknya. Dengan tujuan menciptakan pribadi anak yang baik, mengetahui yang ma’ruf sekaligus mengamalkannya.
Tanggung jawab orang tua terhadap anak tercermin dalam surah lukman ayat 12. yang intinya memberi hikmah sebagai berikut:
1. memberikan kesadaran kepada orang tua bahwa anak-anak adalah amanah.
2. anak-anak adalah ujian yang berat dari Allah SWT. Dan orang tua jangan berkhianat.
3. pendidikan anak harus diutamakan.
4. mendidik anak harus menggunakan strategi dan tiap-tiap yang dapat diterima akal anak.
5. orang tua tidak memaksakan kehendaknya sendiri kepada anak.
6. menjaga anak untuk tetap menunaikan shalat dan berbuat kebajikan.
Hubungan orentasional antara perintah mendidik bagi orang tua terhadap anak-anaknya dalam pendidikan islam, terlihat dalam implikasi dari tujuan pendidikan islam, yaitu membentuk pengetahuan ( kognisi), sikap (apeksi) dan prilaku (metorik) manusia yang sesuai dengan paradigma pendidikan islam upaya yang dilakukan pendidikan islam oleh pendidikan sebagai tanggung jawab oleh pendidikan islam adalah sebagai berikut:
1. pendidikan anak dalam bertauhid atau menumbuhkan keyakinan teologi yang murni.
2. menumbuhkan sikap dan jiwa anak yang selalu beribadah kepada Allah SWT.
3. memupuk akhlakulkarimah
4. menciptakan pemimpin yang senantiasa amar ma’ruf nahi munkar.
5. menumbuhkan kesadaran ilmiah melalui kegiatan penelitian
sehubungan dengan tanggung jawab orang tua diatas sebaiknya orang tua mengetahui apa dan bagaimana cara mendidik anak. Dengan memerhatikan tanggung jawab pendidikan dari orang tua terhadap anak-anaknya dapat disimpulkan bahwa orang tua adalah pendidik anak-anak dan anak adalah anugrah dari Allah. Orang

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
A. Tanggung Jawab Pendidikan Islam
tanggung jawab yang paling menonjol dan mendapat perhatian besar dalam islam adalah tanggung jawab pendidik terhadap individu-individu yang memerlukan pengarahan, pengajaran, dan pendidikan.

B. Penanggung jawab pendidkan islam menurut ajaran pendidikan Islam
Penanggung jawab pendidikan islam menurut ajaran islam adalah :
*Seluruh manusia bertanggung jawab untuk mendidik diri sendiri karena ajaran islam *menekankan tanggung jawab sendiri-sendiri dalam menghadapi masalah.
orang tua bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya dalam keluarga.
*tanggung jawab yang paling menonjol dan mendapat perhatian besar dalam islam adalah tanggung jawab pendidik terhadap individu-individu yang memerlukan pengarahan, pengajaran, dan pendidikan.
*pemerintah karena memperoleh pendidikkan merupakan hak rakyat yang dilindungi oleh UUD 1945 dan para guru disekolah..
BAB I
Pendahuluan

a.Latar Belakang masalah
Peserta didik dalam pendidikan islam adalah individu sedang tumbuh dan berkembang,baik secara fisik ,psikologis,sosial,dan religius dalam mengurangi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.Defenisi tersebut memberikan arti bahwa peserta didik merupakan individu yang belum dewasa,yang karenanya memerlukan orang lain untuk menjadikan dirinya dewasa.
Anak kandung adalah peserta didik dalam keluarga,murid adalah peserta didik di sekolah,anak-anak adalah peserta didik masyarakat sekitarnya,dan umat beragama menjadi peserta didik ruhaniawan dalam suatu agama.












BAB II
PEMBAHASAN

PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
1.Defenisi peserta didik dalam pendidikan islam
Peserta didik dalam pendidikan islam adalah setiap manusia yang sepanjang hidupnya selalu dalam perkembangan . Menurut Al-Ghazali anak didik merupakan generasi penerus bagi bangsa, agama, maupun keturunan, atau persiapan generasi untuk masa mendatang, karenamasa kini diciptakan oleh masa lalu. Sehingga mereka sangat memerlukan perhatian yang serius dari segi pendidikan khususnya pendidikan Islam dalam angka membangun manusia seutuhnya. Kaitannya dengan pendidikan adalah bahwa perkembangan peserta didik itu selalu menuju kedewasaan dimana semuanya itu terjadi karena adanya bantuan dan bimbingan yang diberikan oleh pendidik.Bantuan dan bimbingan yang diberikan oleh pendidik sangat dipengaruhi oleh pandangan pendidik itu sendiri terhadap pesrta didik.Dalam hal ini anak(peserta didik )merupakan sarana dalam proses pendidikan.
Pertumbuhan dan perkembangannya yang dialami oleh peserta didik sangat dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu:
a. Factor pembawaan (warisan),
b. Faktor lingkungan,dan
c. Factor kematangan dalam proses perkembangan seseorang.
Ada beberapa aliran yang menjelaskan tentang perkembangan,antara lain:
1.Aliran Nativisme
Dalam aliran ini dijelaskan bahwa perkembangan manusia itu ditentukan oleh pembawaannya,sedangkan pengalaman dan pendidikan tidak berpengaruh apa-apa.Faktor pembawaan ini bersifat kodrati dari lahir dan tidak dapat diubah oleh pengaruh alam sekitar.faktor inilah yang akan membentuk kepribadian manusia.
2. Aliran Empirisme
Pada aliran ini dijelaskan bahwa perkembangan manusia itu semata-mata tergantung pada lingkungan dengan pengalaman pendidikannya
3. Aliran Konvergensi
Pada aliran ini adalah gabungan aliran Empirisme dengan Nativisme.Didalamnya menggabungkan arti penting dengan lingkungan sebagai faktor-faktor yang berpengaruh dalam perkembangan manusia.
Dalam proses perkembangan manusia,islam memiliki konsep-konsep yang menjelaskan proses tersebut secara gamblang.Konsep-konsep tersebut antara lain:
a.Konsep fitrah dalam diri manusia
Fitrah merupakan suatu ketetapan Tuhan bagi setiap makhluk-Nya.Tujuan dan jalan hidup manusia ditentukan oleh Allah SWT.Petunjuk yang ditentukan oleh Allah SWT tidak pernah menyesatkan dan keliru dalam menuntun makhluknya untuk menempuh jalan perkembangannya.Dalam Alqur’an,secara fitrah manusia dijelaskan terdiri dari dua bagian:kulit dan isi.Bentuk fisik adalah kulit,sedangkan akal adalah isi.Akal adalah potensi diri manusia yang dirinya berlangsung beberapa proses olah pikir, Seperti berpikir,mengingat,dsb.
b.Konsep warisan dan bid’ah(lingkungan)
Konsep ini menerangkan bahwa keadaan manusia saat ini merupakan pembawaan sejak lahir yang diperoleh dari orang tuanya.Selain faktor bawaan,perkembangan manusia juga sangat ditentukan oleh keadaan lingkungan.




Paradigma Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam
Dalam proses belajar mengajar , seorang pendidik harus sedapat mungkin memahami hakikat peserta didiknya sebagai subjek dan objek pendidikan.Kesalahan dalam memahami hakikat peserta didik menjadikan kegagalan dalam proses pendidikan.Beberapa hal yang perlu dipahami mengenai karakteristik peserta didik adalah:
Pertama,peserta didik bukan miniatur orang dewasa,ia mempunyai dunia sendiri,sehingga metode belajar mengajar tidak boleh disamakan dengan orang dewasa
Kedua,peserta didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk pemenuhan kebutuhan itu semaksimal mungkin
Ketiga,peserta didik memiliki pebedaan antara individu dengan individu lain
Keempat,peserta didik dipandang sebagai kesatuan sistem manusia
Kelima,peserta didik merupakan subjek dan objek sekaligus dalam pendidikan yang dimungkinkan dapat aktif ,kreatif,serta produktif
Keenam,peserta didik mengikuti periode-periode perkembangan tertentu dan mempunyai pola perkembangan serta tempo dan iramanya
ada beberapa aspek peserta didik yang harus diperhatikan dalam pendidikan Islam, diantaranya:
1. Potensi peserta didik yang harus diaktualisasikan, yaitu:
a. Hidayah wujdaniyah yaitu potensi yang berwujud insting atau naluri yang melekat dan lansung berfungsi pada saat manusia dilahirkan di muka bumi ini.
b. Hidayah Hissiyah yaitu potensi berupa kemampuan indrawi sebagai penyempurnaan hidayah pertama
c. Hidayah aqliyyah yaitu potensi akal sebagai penyempurnaan dari kedua hidayah di atas, sehingga memiliki kemampuan berfikir dan berkreasi menemukan ilmu pengetahuan
d. Hidayah diniyyah yaitu petunjuk agama berupa keterangan tentang hal-hal yang menyangkut keyakinan dan aturan perbuatan yang tertulis dalam Al-qur’an dan sunnah
e. Hidayah Taufiqiyyah yaitu hidayah khusus yang diharapkan diberikan Allah petunjuk yang lurus berupa hidayah dan taufiq agar manusia selalu berada alam keidhaan Allah

2. Kebutuhan peserta didik baik kebutuhan jasmani (primer) seperti makan, minum, seks, dan sebagainya maupun kebutuhan rohaniyah (sekunder) yang meliputi kebutuhan kasih sayang, akan rasa aman, akan rasa harga diri, rasa bebas, sukses dan kebutuhan akan suatu kekuatan pembimbing atau pengendalian diri manusia.
Berkaitan dengan potensi atau fitrah yang dimiliki anak sejak lahir, hadis yang diriwayatkan Bukhari dari Abu hanifah diungkapkan sabda rasulullah SAW :


Artinya :”setiap anak yang dilahirkan memiliki fitrah, maka kedua orang tuanya yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani, ataupun majusi” (Al-Hadis)















Sifat-sifat Dan Kode Etik Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam
Sifat-sifat dan kode etik peserta didik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakannya dalam proses belajar mengajar ,baik secara langsung maupun tidak langsung.Al-Ghazali,yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman,merumuskan sebelas pokok kode etik peserta didik,yaitu:
1. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT,sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela dan mengisi dengan akhlak yang terpuji (QS.al-An’am : 162 ) yang artinya “Katakanlah , “Sesungguhnya salatku , ibadahku , hidupku , dan matiku hanyalah untuk Allah semesta alam.
2. Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi(QS.adh-Dhuha:


4). Artinya,belajar tak semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan,tapi juga belajar ingin berijtihad melawan kebodohan demi mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi,baik di hadapan manusia dan Allah SWT.
3 Bersikap tawadhu’(rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidiknya.Sekalipun ia cerdas,tetapi ia bijak dalam menggunakan kecerdasan itu pada pendidiknya,termasuk juga bijak kepada teman-temannya yang IQ-nya lebih rendah.
4. Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran,sehingga ia terfokus dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar.
5. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji (mahmudah),baik untuk ukhrawi maupun untuk duniawi,serta meninggalkan ilmu-ilmu yang tercela(madzmumah).Ilmu terpuji dapat mendekatkan diri kepada Allah,sementara ilmu tercela akan menjauhkan dari-Nya dan mendatangkan permusuhan antar sesamanya.
6. Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah(konkret) menuju pelajaran yang sukar (abstrak).
7. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya,sehingga peserta didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
8. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari,sehingga medatangkan objektivitas dalam memandang suatu masalah.
9. Memprioritaskan ilmu diniyah yang terkait dengan kewajiban sebagai makhluk Allah SWT,sebelum memasuki ilmu duniawi.
10. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan , yaitu ilmu yang bermanfaat dapat membahagiakan , menyejahterakan , serta memberi keselamatan hidup dunia akhirat.
11. peserta didik harus tunduk pada nasihat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit terhadap dokternya.
Menurut Ibnu Jama’ah yang dikutip oleh Abd al-amir Syams al-Din, peserta didik terbagi atas tiga macam , yaitu :
(1) Terkait dengan diri sendiri , meliputi membersihkan hati , memperbaiki niat atau motivasi , memiliki cita-cita dan usaha yang kuat untuk sukses dan penuh kesederhanaan.
(2) Terkait dengan pendidik , meliputi patuh dan tunduk secara utuh , memuliakan ,dan menghormatinya , senantiasa melayani kebutuhan pendidik dan menerima segala hinaan atau hukuman darinya.
(3) Terkait dengan pelajaran , meliputi berpegang teguh secara utuh pada pendapat pendapat pendidik , senantiasa mempelajarinya tanpa henti , mempraktekkan apa yang dipelajari dan bertahap dalam menempuh suatu ilmu.
Ali bin Abi Thalib memberikan syarat bagi peserta didik dengan enam macam , yang merupakan kompetensi mutlak dan dibutuhkan tercapainya tujuan pendidikan.Syarat yang dimaksud sebagaimana dalam syairnya :
“Ingatlah ! Engkau tidak akan bisa memperoleh ilmu kecuali karena enam syarat ; aku akan menjelaskan keenam syarat itu padamu , yaitu : kecerdasan , hasrat atau motivasi yang keras , sabar , modal , (sarana) , petunjuk guru , dan masa yang panjang.
Drai syair tersebut dapat dipahami bahwa syarat-syarat pencari ilmu adalah mencakup enam hal , yaitu :
Pertama , memiliki kecerdasan ; yaitu penalaran , imajinasi , wawasan , pertimbangan , dan daya penyesuaian sebagai proses mental yang dilakukan secara cepat dan tepat.
Kedua , memiliki hasrat , yaitu kemauan , gairah , moril dan motivasi yang tinggi dalam mencari ilmu , serta tidak merasa puas terhadap ilmu yang diperolehnya.
Ketiga , beersabar dan tabah serta tidak mudah putus asa dalam belajar , walaupun banyak rintangan dan hambatan , baik hambatan ekonomi , psikologis , sosiologis , politik bahkan admimistratif.
Keempat , mempunyai seperangkat modal dan sarana yang memadai dalam belajar.
Kelima , adanya petunjuk pendidik , sehingga tidak terjadi salah pengertian terhadap apa yang dipelajari.
Keenam , masa yang panjang , yaitu belajar tiada henti dalam mencari ilmu sampai pada akhir hayat.






BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Peserta didik adalah setiap manusia yang sepanjang hidupnya selalu dalam perkembangan yang menunjukkan peserta didik menuju kedewasaan dimana semuanya itu terjadi karena adanya bantuan dan bimbingan yang diberikan oleh pendidik
Dalam proses peserta didik harus dimiliki sifat-sifat dan kode etik yang bagi peserta didik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakannya dalam proses belajar mengajar , baik secara langsung maupun tidak langsung
Tujuannya agar peserta didik memiliki gambaran tentang islam yang jelas , utuh , dan menyeluruh serta peserta didik dapat berinteraksi yang dapat berpengaruh kepada penampilan , sikap , tingkah laku dan amalnya sehinnga menghasilkan amal yang baik













Daftar Pustaka
Mujib,Abdul.2006.Ilmu Pengantar Islam,Jakarta:Prenada Media
Syafaruddin.2009.Ilmu Pendidikan Islam,Jakarta:Hijri Pustaka Umum